Kamis, 25 Desember 2014

Sintren masih lestari di Majenang

Sintren, itulah nama kesenian tari yang biasa dipentaskan di daerah Jawa Tengah dan pesisir Jawa Barat. Kesenian sintren berlandaskan dari cerita rakyat yaitu kisah percintaan Sulasih dan Sulandana. Karena ayah Sulandana tidak merestui hibungan anaknya, Sulandana menyikapinya dengan pergi bertapa dan Sulasih menjadi penari. Mereka sering bertemu di alam ghaib dengan bantuan Ibunda Sulandana yang meniupkan roh bidadari ke tubuh Sulasih dan memanggil Sulandana yang sedang bertapa supaya menghampiri Sulasih.

Pertunjukan Sintren di Desa Mulyadadi,Majenang,Cilacap
Pertunjukan Sintren di Desa Mulyadadi,Majenang,Cilacap
Pertunjukan sintren di salah satu desa di Kecamatan Majenang menjadi bukti kesenian sintren masih dilestarikan. Pertunjukan tersebut diadakan oleh salah satu warga yang bertempat di pelataran rumahnya. Penari utama sintren adalah perempuan, sedangkan penari laki–laki hanya sebagai pelengkap.
Syarat utama untuk menjadi penari sintren yaitu perempuan yang masih gadis(perawan), hal ini karena menurut cerita masyarakat roh bidadari tidak bisa masuk jika penari sintren sudah tidak perawan lagi.
Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahap. Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh.
Salah satu penari sintren masuk kurungan
Salah satu penari sintren masuk kurungan
Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.
Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tdana sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Masyarakat masih antusias untuk menonton pertunjukan sintren, dimulai dari anak-anak, pemuda, sampai orang tua. Hanya saja, untuk sekarang ini kebanyakan pemuda menjadi penonton pasif (pasive audience) karena merasa malu untuk ikut menari pada prosesibalangan atau lebih dikenal saweran, dan kebanyakan penonton yang ikut menari ke tengah pertunjukan adalah orang tua.
Uang saweran dikaitkan ke penari
Uang saweran dikaitkan ke penari
Pada prosesi balangan, dinyanyikan lagu pengiring berjudul thole-thole, penonton mewujudkan apresiasi atau rasa terimakasihnya dengan melemparkan uang ke tengah arena pertunjukan atau tempat yang sudah disediakan, biasanya berupa nampan(tampah). Lucunya, uang pemberian penonton yang berupa uang kertas ditempelkan ke baju penari sintren dengan mengaitkannya dengan jarum peniti.
Mungkin dalam benak kita pernah bertanya-tanya kenapa sih kalau sintren harus memakai kacamata hitam, malam hari kok memakai kacamata hitam. Kacamata hitam yang dipakai penari sintren tidak bertujuan untuk sok modernatau sok stylist tetapi bertujuan untuk menutupi mata penari yang terpejam akibat kerasukan roh bidadari. Kacamata hitam juga menjadi ciri khas penari sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Kesenian tradisional daerah kita harus tetap terjaga untuk menghindari penjajahan kebudayaan. Apalagi sekarang sedang marak perlakuan klaim kebudayaan dari negara tetangga, apakah kita mau kesenian sintren diklaim oleh negara tetangga? tentunya tidak.
Kesenian sintren masih menjadi salah satu pertunjukan hiburan yang menarik bagi masyarakat Kecamatan Majenang, pada event lebaran September 2010 yang lalu saja ada sekitar empat pertunjukan sintren yang diselenggarakan dalam dua desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar